rencana renovasi gedung gereja

Jumat, 30 September 2011

SEJARAH GKSBS BANDARJAYA

1956. Tiga kepala keluarga Kristen- berjejal bersama sesama nya yang lain naik truk. dari Maron, Jawa Timur ke Lampung. Pada hitunganhari yang ke- tujuh mereka baru tiba di Batavia atau Jakarta. Hari ke-sembijan tiba: di Panjang dan hari kesepuluh tiba di Bandarjaya...Masih di tahun yang sama, tiga kepala -keluarga dari desa yang sama menyusul ke Bandarjaya, Lampung. Pada tahun inilah.mereka mengawali persekutuan dan "ngibadah" atau kebaktian rumah-tangga.

                     

1957. Setelah berganti tahun, sepuluh kepala keluarga menyusul saudara-saudaranya di Lampung. Jumlah- keluarga Kristen di Bandarjaya menjadi Enam belas keluarga2. Mereka lebih tepat disebut "kaum migran" atau penduduk yang berpindah atas biaya sendiri. Bukan transmigran seperti yang dikenal luas. Dan lagi, Bandarjaya tidak termasuk "kapling untuk trahsmigran" A,B, C seperti Adijaya, Bumi Kencana, Cimpang Agung dll. Bandarjaya merupakan Tanah Marga, yang bisa dibeli oleh perorangan atau oleh Pemerintah untuk perkantoran atau untuk hunian warga masyarakat. Alhasil, Kehadiran sepuluh keluarga pada gelombang ketiga itu-membuat mereka-"makin hangat". Kegiatan "ngibadah-pun" makin semangat sekalipun pada setiap hari Minggu mereka berpindah-pindah dari rumah ke rumah sesama untuk kebaktian rumah-tangga. Kebaktian rumah-tangga tidak pernah dilakukan malam hari. Kecuali karena gelap gulita, jalan setapak dua tapak yang ada masih bersemak-belukar rimbun/juga mengingat sekali dua disiang hari ada diantara mereka pernah berpapasan dengan "mbahe" alias si raja hutan. Kehadiran beberapa keluarga Kristen dari Jawa Tengah dan Yogyakarta menambah jumlah mereka, tidak lagi dalam hitungan belasan, tetapi sudah mencapai tigapuluhan keluarga. Tidak ada rumah yang cukup luas untuk menampung semua saat kebaktian hari Minggu. Rumah mereka kecil, sempit, berdinding kayu sebitan atau "gribik" dan beratap alang-alang.


BERDOA MOHON TEMPAT IBADAH. 1958-1963 : Tidak adanya termpat yang cukup untuk kebaktian, melahirkan ide untuk memiliki tempat ibadah. Maka usaha mewujudkan ide atau impian itu dimulai. Dibangunlah kontak atau lobby-lobby. Lobby ke Bayan, Kepala Kampung, Kantor Jawatan Transmigrasi dll. Mereka tekun berdoa memohon agarTuhan mengabulkannya. Berkat doa dan usaha serta dukungan warga masyarakat, Pamong Desa serta Pemerintah (Jawatan Transmigrasi yang berkantor di Metro), umat Kristen mendapatkan dua bidang tanah dari Pemerintah dalam hal ini melalui Jawatan Transmigrasi. Pemerintah memberikan tanah tersebut dalam bentuk surat dan dialamatkan untuk / kepada Paguyuban Kristen, meliputi tanah pekarangan seluas 2.500 M2 (50x50 meter) dan ladang seluas 10.000 M2 (100x 100 meter). Catatan perkembangannya :                        .


1.     Dalam perjalanan sejarahnya, pemberian tanah oleh Pemerintah itu disusul dengan Surat resmi dari : DIREKTORAT TRANSMIGRASI OBJEK WAY SEPUTIH - KANTOR TRANSMIGRASI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH No : B/105/3/Ws/1971 tertangal 5 Oktober 1971.   
2.     Dua bidang tanah tersebut hingga saat ini masih utuh. Digunakan untuk Bangunan Gereja (50x50M di Jalan Manggis 94 Bandarjaya Barat) dan ladang (100x100 M di Bandarjaya Timur).


GOTONG ROYONGMEMBANGUN RUMAH IBADAH : Tanah sudah ada, namun masih belukar dan belum ada rumah untuk ibadah. Mereka mencari kayu di hutan untuk bangunan rumah ibadah. Kayu bulat yang kecil dan lurus untuk usuk atau reng; kayu bulat yang agak besar harus dirimbas menjadi pesegen untuk tiang dan kerangka kap. Yang lain mencari sebetan untuk binding. Lain waktu lagi cari alang-alang untuk atap. Adapun warga yang perempuan menyiapkan makanan minuman bagi mereka yang masuk hutan mencari bahan bangunan. Mereka bekerjasama secara gotong-royong seperti kebiasaan. Dalam waktu semingu dua minggu selesailah bangunan rumah ibadah berukuran 6 x 10 meter beratap alang-alang. Mereka kemudian makin besemangat lagi untuk membuat bangku-bangkunya. Maka gotong-royong lagi dan gotong-royong terus. Jadilah bangku-bangku ala kadarnya berbahan kayu sebetan. Masalah belum selesai. Setiap kali bangku gereja itu diduduki, sebentar dua bentar ambles...bles,..bles karena lantainya lembek dan becek, apa mau dikata?


Pada saat itu jumlah anak-anak Sekolah Minggu kira-kira 25 anak. Jumlah total seluruh warga Kristen suidah mencapai hampir 100 jiwa. Begitu cerita sampai dengan sekitar tahun 1963-an.


BAGAIMANA PENDIDIKAN / SEKOLAH UNTUK ANAK-ANAK? 1964 : Jumlah anak-anak dari keluarga Kristen makin banyak. Mereka Bertambah umur dan makin besar badannya. Mereka tiba waktunya bagi mereka untuk sekolah dan mendapatkan pendidikan. Tetapi belum ada sekolah yang didirikan pemerintah, lalu bagaimana? Maka orang-orang tua bersepakat dan bertekad bahwa anak-anak harus belajar atau sekolah. Maka bangunan gereja kayu rimbasan itu digunakan menjadi tempat belajar atau sekolah.


Kelas satu pada angkatan pertama berjumlah sekitar 25 anak. Mereka mulai belajar pada bulan Juli 1964. Maka tanggal itu ditetapkan menjadi tanggal lahirnya SEKOLAH DASAR KRISTEN (SDK) Bandarjaya seperti yang sekarang dikenal.


31 DESEMBER 1964 MENJADI GEREJA DEWASA. Desa Bandarjaya makin berkembang dan jumlah penduduk makin bertambah. Kebutuhan pelayanan Pendeta makin meningkat dan tidak bisa dielakkan. Usaha untuk ber-pendeta Jemaat sendiri diawali dengan-usaha untuk berstatus menjadi Gereja Dewasa. Gereja Dewasa adalah gereja yang SDM-nya mampu memimpin, mengembangkan warga gerejanya, mampu membiayai kegiatannya dan mampu menanggung biaya hidup pendetanya sendiri. Usaha-usaha pembinaan ke-dalam menuju kesiapan menjadi Gereja Dewasa terus dilakukan dan diberkati Tuhan.


Pada tanggal 31 Desember 1964 dalam Kebaktian Jemaat yang dilayani oleh pendeta ditetapkaniah bahwa persekutuan warga Kristen di Bandarjaya itu menjadi Gereja Dewasa dengan nama "GEREJA KRISTEN RINGIN TUNGGAL". Nama itu diberikan oleh Pdt. R.Pudjo Soewito dari Tanjung Karang, alasannya karena di depan bangunan gereja ada sebatang pohon ringin. Namun, menurut bapak Gubernur Lampung saat itu – beliau menyatakan bahwa nama Gereja Kristen Ringin Tunggal  dirasa kurang pas karena sangat berkonotasi Jawa. Beliau memberi saran agar gereja itu bernama "Gereja Kristen Lampung Bandarjaya". Maka nama itulah yang seianjutnya dipakai sampai dengan tahun 1987.


Selanjutnya setelah dewasa maka peiayanan kependetaan dilaksanakan oleh Pdt. R.Siswodwijo, dari Metro. Saat itu beliau juga anggota DPRD Lampung Tengah. Pelayanan pendeta di GKL Bandarjaya terjadi 3-4 bulan satu kali saja.  


1965. Sinode Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) memprakarsai dan membiayai program migran warga gereja dari Maron, Blitar, Jawa Timur.  Dengan datangnya serombongan besar keluarga dari Maron, Blitar, Jawa Timur yang  maka jumlah umat Kristen di Bandarjaya bertambah. Mereka tinggal di wilayah Seputihjaya (selatan Bandarjaya) dan kemudian menjadi kelompok Seputihjaya, yang adalah bagian integral GKL Bandarjaya.


KEPENDETAAN

1966-1988. GKL Bandarjaya sebagai gereja dewasa mestinya berpendeta sendiri. Namun tidak mudah untuk mendapatkannya karena jumlah pendeta di Lampung saat itu hanya 3 atau 4 Pendeta saja. Maka Pdt.R.Siswodwidjo yang berdomisili di Metro kadang-kala melayani GKL Bandarjaya terutama peiayanan sakramen atau manten. Sesekali juga dilayani oleh Pdt. Abner Siswosoewito atau Pdt. R.Pudjosoewito. Mereka semua berstatus pendeta utusan dari Sinode Gereja Kristen Jawa untuk pelayanan di tanah seberang, Lampung.  


Pada tahun 1970-an usaha GKL Bandarjaya memanggil Pdt.Sugeng Sindu Prayitno dari Gunung Kidul, Yogyakarta gagal. Baru pada tahun 1974 GKL Bandarjaya berhasil memanggil Sdr. Efrayim Poerwoatmodjo, Sm.Th.  masih bujangan dan belum pendeta. Setelah melalui proses gerejawi kemudian ditahbiskan menjadi Pendeta Jemaat GKL Bandarjaya. Beliau melayani GKL Bandarjaya sampai dengan tahun 1984, kemudian lalu pindah pelayanan atas panggilan Majelis Gereja Kristen Jawa di Salatiga, Jawa Tengah.


Periode 1984 - 1988 GKL Bandarjaya tidak punya pendeta lagi. Maka selalu untuk pelayanan kependetaan senantiasa pinjam atau dipinjami pendeta dari gereja lain untuk pelayanan-pelayanan khusus, mereka adalah Pdt. Slamet Raharjo (GKL Semulijaya), Pdt. Supriyanto Hadi Kusumo (GKL Dayamurni), Pdt. Timotius Budi Raharjo (GKL Varia Agung).


Catatan : Terhitung mulai tanggal 6 Agustus 1987 berdasarkan keputusan Sidang Sinode GKJ di Yogyakarta maka nama Sinode Wilayah I GKJ yang meliputi gereja-gereja GKL (Lampung), GKSS (Sum-sel) GKJ (Jambi) dan GKB (Bengkulu) lebur dan berubah nama menjadi Sinode Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan ( GKSBS). Dari situ kemudian nama GKL Bandarjaya menjadi GKSBS Bandarjaya.


Terhitung sejak 1 Januari 1989 GKSBS Bandarjaya memanggil Pdt. Tri Joko Hadi Nugroho, S.Th. menjadi pendeta jemaat GKSBS Bandarjaya. Saat itu beliau melayani Daerah Pertumbuhan Baru (DPB) / Calon Jemaat (CJ) Pamenang dsk,  wilayah  transmigrasi di Sarolangon Bangko, Jambi.


Alamat GKSBS Bandarjaya :

Post     : Jl. Manggis 94 Bandarjaya Barat, Lampung Tengah, Indonesia 34162



Diceritakan bersama pada tanggal 15-16 Desember 2004 dalam pertemuan Jemaat GKSBS Bandarjaya dalam rangka kegiatan HUT ke-40 GKSBS Bandarjaya oleh para nara-sumber (tahun kedatangannya di Lampung) : 1.Bp. Pandri (1956); 2.Bp. Y, Sukasman (1957); 3. lbu Suharini Purwadihardjo (1958); 4.Bp. Suharto (1958); 5.Bp. Setyaadi (1958); 6.Bp. Ys.Widianto, BA (1963); 7. Bp. Dwinyo YD. BA (1963); 8. Bp. Warnyoto (1965). Pendukung Cerita : 9.Bp. Ngadiran (1957). Yang tidak bisa hadir karena usia sudah Ianjut  atau sedang sakit : 1. Ibu Purwaharjo (1956); 2. Bp.Supriyono (1957); 3. Bp.Pudjo Rahardjo (1957) dan 4. Bp.Sugiyatno (1973).



Ditulis ulang oleh : Pdt. Tri Joko Hadi Nugroho

30.09.11

email : trijoko_hn@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar